• About
  • Landing Page
  • Buy JNews
Newsletter
  • Login
Fokus Tempo
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik Pemerintahan
  • Hukum & Kriminal
  • Ekbis
  • Sorotan
No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik Pemerintahan
  • Hukum & Kriminal
  • Ekbis
  • Sorotan
No Result
View All Result
Fokus Tempo
No Result
View All Result
Home Sorotan

Kejahatan Ternormalisasi: Krisis Kemanusiaan di Era Modern

admin by admin
Juni 2, 2025
in Sorotan
0 0
0
Sang Naga dan Tarian Terakhir Sang Rubah

Mengapa kejahatan semakin meningkat dalam jumlah dan kualitas, di mana di zaman modern ini seolah semakin dianggap biasa? Banyak orang yang terbiasa hidup dalam lingkungan seperti itu, menimbulkan pertanyaan, apakah perlawanan terhadap kejahatan menjadi semakin melemah?

Isu ini menyentuh inti dari krisis kemanusiaan modern, di mana fenomena “kejahatan ternormalisasi” atau normalized crime menjadi nyata. Paradoks kehidupan ini menyiratkan bahwa meskipun masyarakat semakin teredukasi dan terhubung, justru kepekaan moral mereka semakin tumpul.

Peran Filsafat dalam Memahami Kejahatan

Kita bisa belajar dari pemikiran para filsuf seperti Hannah Arendt dan Zygmunt Bauman. Menurut Arendt, kejahatan kini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap jahat, melainkan oleh ‘orang biasa’ yang patuh pada sistem. Contoh paling nyata bisa kita lihat pada seorang pegawai bank yang memanipulasi data demi mencapai target.

Sementara itu, Bauman mengemukakan konsep ‘Dilema Zaman Cair’, yang menggambarkan bahwa dalam masyarakat modern, nilai-nilai moral semakin mudah menguap demi kepentingan praktis. Kapitalisme konsumtif sering kali melahirkan pemikiran bahwa “Apa yang menguntungkan adalah benar”, sehingga tindakan eksploitasi di masyarakat dianggap normal.

Efek Sosial dari Kejahatan yang Meningkat

Dari sudut pandang psikologi sosial, kita mengenal Bystander Effect, yang menunjukkan bahwa individu cenderung pasif ketika melihat kejahatan jika orang lain juga tidak bereaksi. Media sosial yang dibombardir dengan berita kejahatan sering kali membuat orang menjadi kebas terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya.

Perkembangan teknologi juga membawa distorsi sosial. Kasus kejahatan seperti korupsi digital dan eksploitasi data mengaburkan garis antara penjahat dan korban. Pelaku kejahatan kini sering kali bersembunyi di balik algoritma, menjadikan korban tak berwajah dalam masyarakat.

Ketika jumlah dan kualitas kejahatan semakin meningkat, daya perlawanan masyarakat menjadi melemah. Kelelahan moral, seperti yang disebutkan, membuat orang lebih fokus pada survival atau bertahan hidup. Fragmentasi solidaritas juga terjadi, di mana masyarakat terkotak-kotak oleh echo chamber di media sosial, dengan isu keadilan dipolitisasi menjadi perpecahan.

Akan tetapi, perlawanan akan kekerasan sosial harus tetap ada. Revolusi kesadaran harus dilakukan di tingkat individu, di mana pentingnya melatih pikiran kritis bukan hanya sekedar menjadi pintar. Di tingkat komunitas, perlu adanya ruang publik yang mendukung tindakan kolektif untuk mengubah keadaan.

Seni dapat menjadi medium perlawanan yang kuat, dengan musik, mural, dan teater yang mampu membangkitkan empati tanpa dipengaruhi oleh data statistik semata.

Transformasi sistem juga diperlukan. Hukum harus lebih progresif; fokus tidak hanya pada pelanggaran kecil, tetapi juga pada kejahatan yang terstruktur. Selain itu, perlu ada regulasi yang ketat pada algoritma media sosial untuk mencegah penyebarluasan kebencian dan dehumanisasi.

Pendidikan dengan pendekatan holistik juga sangat penting, terutama dalam kurikulum yang menekankan etika, literasi digital, dan kewarganegaraan. Mengambil contoh dari pendidikan di Jepang, di mana fokus pada karakter sangat ditekankan di tahun-tahun awal, dapat menjadi referensi yang baik.

Gerakan perlawanan ini harus didukung oleh masyarakat, menjadi opini yang kuat melawan tindakan kekerasan. Di dunia yang makin cair, orang harus berperan aktif, bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga saksi yang mengedepankan keadilan.

Namun, tantangan terbesar memang datang dari situasi ekonomi yang tidak stabil, yang mendorong sikap pragmatisme. Ini banyak terjadi, dan sering kali lebih cepat menyebar dibandingkan dorongan untuk melakukan kebijakan baik dalam diri individu.

Di tengah semua kondisi ini, kesejatian kepemimpinan perlu ditingkatkan, mengarah pada nilai-nilai yang telah dianut oleh para pendiri bangsa di tahun 1945. Jiwa patriotik dan dedikasi harus menjadi landasan untuk melawan pragmatisme dan hedonisme yang melanda masyarakat.

Degradasi moral bangsa yang terjadi saat ini akibat modernisasi menjadi ancaman bagi eksistensi dan martabat bangsa. Ancaman tersebut berpotensi mengarah pada separatisme dan kemunduran di tengah persaingan global.

Sebagai langkah strategis, ada kebutuhan mendesak untuk “reset” sistem kekuasaan yang lebih dedikatif dan patriotik. Membuka kotak pandora ‘mega korupsi’ dan mempertanggungjawabkan mereka yang terlibat mutlak diperlukan untuk menghadirkan demokrasi dan keadilan sosial.

Di sisi lain, kita harus percaya bahwa keadilan tetap ada, dan perubahan bisa datang pada waktu yang tepat. Ketika semua ini terjadi, harapan untuk masyarakat yang lebih baik tidak akan sirna.

Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.

Related articles

Persebaya dan Konsep Postulat Hornby dalam Sepak Bola

Persebaya dan Konsep Postulat Hornby dalam Sepak Bola

Juni 7, 2025
Petinggi F-Utopia dan Distopia Jelata

Interlock dan Akhir Cerita yang Menarik

Juni 5, 2025

Mengapa kejahatan semakin meningkat dalam jumlah dan kualitas, di mana di zaman modern ini seolah semakin dianggap biasa? Banyak orang yang terbiasa hidup dalam lingkungan seperti itu, menimbulkan pertanyaan, apakah perlawanan terhadap kejahatan menjadi semakin melemah?

Isu ini menyentuh inti dari krisis kemanusiaan modern, di mana fenomena “kejahatan ternormalisasi” atau normalized crime menjadi nyata. Paradoks kehidupan ini menyiratkan bahwa meskipun masyarakat semakin teredukasi dan terhubung, justru kepekaan moral mereka semakin tumpul.

Peran Filsafat dalam Memahami Kejahatan

Kita bisa belajar dari pemikiran para filsuf seperti Hannah Arendt dan Zygmunt Bauman. Menurut Arendt, kejahatan kini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap jahat, melainkan oleh ‘orang biasa’ yang patuh pada sistem. Contoh paling nyata bisa kita lihat pada seorang pegawai bank yang memanipulasi data demi mencapai target.

Sementara itu, Bauman mengemukakan konsep ‘Dilema Zaman Cair’, yang menggambarkan bahwa dalam masyarakat modern, nilai-nilai moral semakin mudah menguap demi kepentingan praktis. Kapitalisme konsumtif sering kali melahirkan pemikiran bahwa “Apa yang menguntungkan adalah benar”, sehingga tindakan eksploitasi di masyarakat dianggap normal.

Efek Sosial dari Kejahatan yang Meningkat

Dari sudut pandang psikologi sosial, kita mengenal Bystander Effect, yang menunjukkan bahwa individu cenderung pasif ketika melihat kejahatan jika orang lain juga tidak bereaksi. Media sosial yang dibombardir dengan berita kejahatan sering kali membuat orang menjadi kebas terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya.

Perkembangan teknologi juga membawa distorsi sosial. Kasus kejahatan seperti korupsi digital dan eksploitasi data mengaburkan garis antara penjahat dan korban. Pelaku kejahatan kini sering kali bersembunyi di balik algoritma, menjadikan korban tak berwajah dalam masyarakat.

Ketika jumlah dan kualitas kejahatan semakin meningkat, daya perlawanan masyarakat menjadi melemah. Kelelahan moral, seperti yang disebutkan, membuat orang lebih fokus pada survival atau bertahan hidup. Fragmentasi solidaritas juga terjadi, di mana masyarakat terkotak-kotak oleh echo chamber di media sosial, dengan isu keadilan dipolitisasi menjadi perpecahan.

Akan tetapi, perlawanan akan kekerasan sosial harus tetap ada. Revolusi kesadaran harus dilakukan di tingkat individu, di mana pentingnya melatih pikiran kritis bukan hanya sekedar menjadi pintar. Di tingkat komunitas, perlu adanya ruang publik yang mendukung tindakan kolektif untuk mengubah keadaan.

Seni dapat menjadi medium perlawanan yang kuat, dengan musik, mural, dan teater yang mampu membangkitkan empati tanpa dipengaruhi oleh data statistik semata.

Transformasi sistem juga diperlukan. Hukum harus lebih progresif; fokus tidak hanya pada pelanggaran kecil, tetapi juga pada kejahatan yang terstruktur. Selain itu, perlu ada regulasi yang ketat pada algoritma media sosial untuk mencegah penyebarluasan kebencian dan dehumanisasi.

Pendidikan dengan pendekatan holistik juga sangat penting, terutama dalam kurikulum yang menekankan etika, literasi digital, dan kewarganegaraan. Mengambil contoh dari pendidikan di Jepang, di mana fokus pada karakter sangat ditekankan di tahun-tahun awal, dapat menjadi referensi yang baik.

Gerakan perlawanan ini harus didukung oleh masyarakat, menjadi opini yang kuat melawan tindakan kekerasan. Di dunia yang makin cair, orang harus berperan aktif, bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga saksi yang mengedepankan keadilan.

Namun, tantangan terbesar memang datang dari situasi ekonomi yang tidak stabil, yang mendorong sikap pragmatisme. Ini banyak terjadi, dan sering kali lebih cepat menyebar dibandingkan dorongan untuk melakukan kebijakan baik dalam diri individu.

Di tengah semua kondisi ini, kesejatian kepemimpinan perlu ditingkatkan, mengarah pada nilai-nilai yang telah dianut oleh para pendiri bangsa di tahun 1945. Jiwa patriotik dan dedikasi harus menjadi landasan untuk melawan pragmatisme dan hedonisme yang melanda masyarakat.

Degradasi moral bangsa yang terjadi saat ini akibat modernisasi menjadi ancaman bagi eksistensi dan martabat bangsa. Ancaman tersebut berpotensi mengarah pada separatisme dan kemunduran di tengah persaingan global.

Sebagai langkah strategis, ada kebutuhan mendesak untuk “reset” sistem kekuasaan yang lebih dedikatif dan patriotik. Membuka kotak pandora ‘mega korupsi’ dan mempertanggungjawabkan mereka yang terlibat mutlak diperlukan untuk menghadirkan demokrasi dan keadilan sosial.

Di sisi lain, kita harus percaya bahwa keadilan tetap ada, dan perubahan bisa datang pada waktu yang tepat. Ketika semua ini terjadi, harapan untuk masyarakat yang lebih baik tidak akan sirna.

Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.

Related Posts

Persebaya dan Konsep Postulat Hornby dalam Sepak Bola

Persebaya dan Konsep Postulat Hornby dalam Sepak Bola

by admin
Juni 7, 2025
0

Tim sepak bola memiliki cara unik untuk menghadirkan momen-momen penuh emosi bagi para pendukung mereka. Tim-tim sepak bola seringkali menghadirkan...

Petinggi F-Utopia dan Distopia Jelata

Interlock dan Akhir Cerita yang Menarik

by admin
Juni 5, 2025
0

Tulisan dalam artikel ini adalah semata untuk literasi pembelajaran melek politik, berdasarkan prinsip konsep MAD (mutual assured destruction), Prisoner’s Dilemma,...

Pengorbanan sebagai Puncak Tanda Pengabdian

Pengorbanan sebagai Puncak Tanda Pengabdian

by admin
Juni 5, 2025
0

Ibadah kurban setiap tahun selalu menjadi pengingat penting bagi umat Islam. Ibadah ini mengajarkan makna pengorbanan yang hakiki. Kisah Nabi...

Petinggi F-Utopia dan Distopia Jelata

Pancasila sebagai Ikatan Kimiawi dalam Suatu Bangsa

by admin
Juni 4, 2025
0

Ikatan kimiawi, seperti air (H2O), merupakan salah satu contoh ikatan yang lahir dari proses alami, mungkin sejak dunia ini diciptakan....

Sang Naga dan Tarian Terakhir Sang Rubah

Transisi Koalisi dan Dinasti

by admin
Juni 4, 2025
0

Demokrasi dengan sistem multi-partai hampir selalu mendorong pembentukan koalisi partai politik, karena sulit untuk mencapai dominasi lebih dari 50 persen...

Load More

Kategori

  • Ekbis
  • Hukum & Kriminal
  • Peristiwa
  • Politik Pemerintahan
  • Sorotan

Sidebar

RekomendasiNews

Perempuan Diduga Jadi Korban Begal di Jalan Kedung Cowek Surabaya
Hukum & Kriminal

Perempuan Diduga Jadi Korban Begal di Jalan Kedung Cowek Surabaya

by admin
Juni 2, 2025
0

Surabaya – Seorang perempuan menjadi korban dugaan begal di Jalan Kedung Cowek pada Kamis malam, yang menyebabkan sepeda motor Honda...

Read more
Menuju Swasembada Pangan, Khofifah Ungkap Negara Inden Beras Petani Jawa Timur
Ekbis

Menuju Swasembada Pangan, Khofifah Ungkap Negara Inden Beras Petani Jawa Timur

by admin
Juni 1, 2025
0

Surabaya (beritajatim.com) – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, baru-baru ini mengungkapkan bahwa beberapa negara telah menunjukkan minat untuk membeli...

Read more
Terobosan Program Ketahanan Pangan Meluncurkan KTSM Semeru
Politik Pemerintahan

Terobosan Program Ketahanan Pangan Meluncurkan KTSM Semeru

by admin
Juni 5, 2025
0

Sidoarjo – Polda Jawa Timur melalui Biro SDM bersama Polresta Sidoarjo berkolaborasi dengan Fakultas Ketahanan Pangan Universitas Negeri Surabaya, menunjukkan...

Read more
Ribuan Pelamar Hadiri Job Fair 2025 di Mojokerto, Didominasi Gen Z dan Milenial
Ekbis

Ribuan Pelamar Hadiri Job Fair 2025 di Mojokerto, Didominasi Gen Z dan Milenial

by admin
Mei 21, 2025
0

Mojokerto – Ribuan pencari kerja berkumpul di halaman sebuah lembaga pendidikan terkemuka di Desa Awang-Awang, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, dalam...

Read more
Fokus Tempo

© 2025 JNews by Fokustempo. All rights reserved.

Informasi Kami

  • About
  • Support Forum
  • Landing Page
  • Buy JNews

Social Media

No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik Pemerintahan
  • Hukum & Kriminal
  • Ekbis
  • Sorotan

© 2025 JNews by Fokustempo. All rights reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?