www.fokustempo.id – Sabtu, 5 April 2025. Di lingkungan Warung Kopi Pitu Likur yang hangat, sebuah diskusi menarik terungkap mengenai sejarah sepak bola di Surabaya. Fery Widyatama, seorang sejarawan yang mengkhususkan diri dalam sejarah Persebaya, membuka pertemuan ini dengan membahas SIVB, entitas yang memiliki makna penting dalam sejarah sepak bola lokal.
Cuaca yang mendung menambah suasana reflektif diskusi kami. Bersama beberapa teman dari Bonek Writers Forum, kami merencanakan peringatan satu abad Persebaya, yang menjadi topik hangat dalam konteks sepak bola Indonesia.
Fery, yang telah mengeluarkan berbagai literatur tentang dinamika sepak bola di Surabaya dari era kolonial, mengungkapkan betapa menariknya keberadaan SIVB yang memiliki sejarah dukung-mendukung dalam perkembangan klub-klub lokal. Pendalaman lebih lanjut ke dalam sejarah ini mengungkapkan bagaimana sepak bola menjadi cermin pertarungan sosial dan politik pada masa itu.
SIVB merupakan akronim dari Soerabajasche Inlandsche Voetbal Bond, sebuah asosiasi klub-klub sepak bola bumiputera yang nantinya mengubah namanya menjadi Persebaya. Namun, SIVB yang dibahas kali ini berbeda; Fery menunjukkan foto kliping koran dari September 1914 yang memuat undangan pertemuan dari Soerabajasche Islamijah Voetbal Bond, juga disingkat SIVB, yang menunjukkan keberagaman dalam komunitas sepak bola.
Informasi ini memberikan gambaran bahwa sejarah sepak bola di Surabaya sangat kompleks dan penuh dinamika, dan nama SIVB bukanlah eksklusif milik satu kelompok tertentu. Fery mengakui masih banyak yang harus dipelajari tentang SIVB ini, namun cukup jelas bahwa keberadaannya adalah refleksi dari komunitas sepak bola yang beragam dan dinamis.
Sejarah Persebaya sendiri adalah bagian dari narasi besar kota yang pernah mengalami banyak perjuangan, seperti yang dikatakan Bung Karno dalam bukunya: kota pelabuhan yang bergejolak. Riset Fery di perpustakaan nasional menunjukkan, Persebaya bisa dibilang lebih tua daripada apa yang sering dirayakan saat ini.
Dalam penelitiannya, Fery menemukan bahwa Soerabajasche Inlandsche Voetbal Bond memiliki perjalanan yang tidak linier. Ternyata, SIVB dalam periode pertamanya telah eksis sejak 1923, yang menjadi titik awal dari sebuah perjalanan panjang dalam dunia sepak bola Surabaya.
Perjalanan Sejarah SIVB dalam Dua Periode yang Berbeda
Berdasarkan penelitian Fery, SIVB periode pertama mencakup klub-klub seperti BEO, Hercules, dan Kemajoran Voetbal Club. Ini menunjukkan bahwa komunitas sepak bola di Surabaya pada masa itu cukup berkembang, meski masih ada tantangan internal yang harus dihadapi. Kompetisi pertama yang dicatat pada tahun 1923 dimenangkan oleh Inlandsche Voetbal Club, menandakan persaingan yang ketat di antara klub-klub yang ada.
SIVB bukan satu-satunya asosiasi di Surabaya; ada juga Patjar Keling dan Soerabaiasche Voetbal Bond, yang menjadi pesaing dalam menarik minat publik. Tahun 1924 menjadi momen penting ketika SIVB mengundang klub dari Solo untuk berpartisipasi dalam suatu pertandingan, yang menunjukkan kepedulian SIVB untuk memperluas jaringan dan meningkatkan daya tarik sepak bola lokal.
Namun, keadaan tidak selalu mulus. Perseteruan antara Kemajoran dan Tjahja Tjarikan pada tahun 1925 yang berujung pada insiden mogok menjadi momen yang menentukan bagi SIVB. Munculnya situasi yang emosional ini menyebabkan kerusuhan di lapangan, yang menunjukkan betapa melekatnya emosi dan semangat dalam dunia sepak bola.
Pihak pengurus akhirnya memutuskan untuk membubarkan SIVB pada 10 Agustus 1925 akibat ketegangan yang berkelanjutan. Namun, ini tidak mengakhiri perjalanan sepak bola bumiputera di Surabaya, karena pada tahun 1926, nama Soerabajasche Inlandsdhe Voetbal Bond lahir, menyatukan berbagai klub di bawah satu payung.
Pencapaian ini menunjukkan betapa pentingnya kerjasama antara berbagai pihak dalam menciptakan ekosistem sepak bola yang lebih kuat. Meskipun secara resmi bukanlah tanggal lahir yang ditetapkan, namun penggabungan ini menjadi bagian penting dalam sejarah panjang Persebaya.
Perubahan dan Adaptasi dalam Sejarah Persebaya
Tiga tahun setelah pembentukan kembali SIVB, terjadi perubahan nama menjadi Persatoean Sepakraga Soerabaja, atau Persebaja, pada tahun 1938. Proses ini juga mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas, di mana kata Inlandsche digantikan oleh Indonesische, menandakan pengakuan terhadap identitas yang lebih inklusif.
Pergantian nama ini bukan hanya sebagai perubahan identitas, tetapi juga bagian dari penyesuaian kepada kebijakan yang lebih luas pasca-Kongres Pemuda 1928. SIVB kemudian harus beradaptasi dengan tuntutan yang mengharuskan semua klub mengadopsi nama dalam bahasa Indonesia untuk mematuhi regulasi baru yang berlaku.
Menjelang peringatan hari jadi Persebaya pada 17 Juni 2025, Fery menekankan bagaimana orang-orang terpelajar dan politisi berperan penting dalam membangun fondasi klub ini. Sosok-sosok seperti M. Pamoedji dan JK Lengkong hadir sebagai tokoh kunci dalam perjalanan sepak bola bumiputera, menunjukkan bagaimana politik dan olahraga seringkali saling terkait.
Kami pun melihat bagaimana PSSI berdiri dan dampaknya terhadap sepak bola lokal. Ketegangan antara SIVB dan rivalnya, SVB, semakin memuncak hingga menyebabkan pemboikotan yang melibatkan banyak orang, baik pribumi maupun keturunan Tionghoa, yang pada akhirnya menciptakan solidaritas di kalangan masyarakat.
Aksi pemboikotan yang terjadi menunjukkan bagaimana sepak bola dapat menjadi sarana perlawanan dan penyatuan di tengah situasi yang tertekan. Panasnya situasi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, mengajak mereka untuk berperan aktif dalam mendukung klub lokal tanpa memandang etnisitas.
Dampak Sosial Politis di Balik Sepak Bola Surabaya
Sejarah sepak bola di Surabaya tidak lepas dari konteks sosial politik yang lebih luas. SIVB dan klub-klub lainnya tidak hanya berfungsi sebagai wadah kompetisi, tetapi juga sebagai medium perlawanan terhadap diskriminasi yang dialami oleh masyarakat bumiputera. Melalui sepak bola, mereka menyampaikan aspirasi dan tantangan yang dihadapi di tengah pemerintah kolonial yang menindas.
Salah satu momen penting ialah saat rakyat Surabaya menyatukan kekuatan untuk memboikot SVB, setelah klub tersebut melarang keterlibatan orang-orang pribumi dalam pertandingan. Tindakan ini menunjukkan bahwa sepak bola memiliki kekuatan untuk menyatukan dan memberikan suara bagi mereka yang terpinggirkan.
Melalui perjalanan panjangnya, Persebaya tidak hanya menjadi klub sepak bola, tetapi juga simbol perlawanan dan persatuan. Rangkaian konflik dan kerjasama menunjukkan bahwa sejarah sepak bola di Surabaya adalah gambaran dari dinamika sosial dan budaya masyarakatnya.
Banyak tahun kemudian, tradisi dan nilai-nilai tersebut tetap hidup, terlihat saat kami berdiskusi tentang peringatan satu abad keberadaan Persebaya. Pertanyaan pun muncul: kapan sebenarnya kita akan merayakan momen bersejarah ini? Diskusi ini melanjutkan warisan yang telah ditinggalkan oleh generasi sebelumnya.
Melihat ke belakang dan memahami akar sejarah menjadi langkah penting bagi kita untuk terus menghargai dan mendukung perkembangan sepak bola, khususnya di Surabaya. Dengan pengetahuan yang kaya ini, kita diharapkan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik untuk dunia sepak bola lokal.