Pemimpin suatu negeri diibaratkan Sang Naga, yang lahir secara alami dari suatu perjuangan panjang penuh pengorbanan, dan tanpa pamrih. Kelahiran alami pemimpin terjadi dengan syarat tanpa campur tangan bisnis, karena bisnis mengandung konten transaksional.
Dalam negara demokrasi di era kapitalisme dan liberalisme, sosok pemimpin bisa jadi tidak alami (buatan), akibat interaksi kompleks antara ‘bakat alami individu’ dan ‘pengaruh sistemik’. Hal ini termasuk peran kelompok elit atau mekanisme “branding” di belakang mereka, di mana masyarakat sering kali dicekoki opini yang membangun obsesi, meski tidak sesuai kenyataan. Rakyat dengan tingkat intelektualitas menengah ke bawah, sering terjebak dalam persepsi keliru yang disebabkan oleh branding dan pembentukan opini publik yang tidak seimbang.
Pemimpin “Lahir Alami” vs “Buatan”
Pemimpin alami muncul karena kualitas intrinsik dan dukungan rakyat. Beberapa pemimpin memiliki kemampuan alami seperti kharisma, kecerdasan emosional, atau visi yang selaras dengan aspirasi publik. Contohnya, Nelson Mandela yang menjadi simbol perjuangan anti-apartheid meski tanpa dukungan dari elit.
Di sisi lain, pemimpin seperti Bernie Sanders dan Jacinda Ardern memperoleh pengaruh melalui keterlibatan langsung dengan masyarakat dan isu progresif, tanpa bergantung sepenuhnya pada struktur partai tradisional. Namun, pengaruh kelompok elit sering kali menggunakan branding politik melalui partai-partai sebagai “gerbang” kepemimpinan. Para kandidat perlu dukungan finansial dan legitimasi dari elit partai. Kasus Jair Bolsonaro dan Emmanuel Macron menunjukkan bagaimana media dan narasi yang diarahkan oleh elit berperan besar dalam membentuk citra publik.
Di era global ini, keterlibatan korporasi atau kelompok kepentingan sering kali menentukan siapa yang bisa bersaing dalam pemilu, sehingga demokrasi terasa seperti arena pertarungan antara legitimasi vs manipulasi. Idealnya, demokrasi memungkinkan pemimpin berbakat muncul melalui meritokrasi, namun sering kali akses ke sumber daya dimonopoli oleh para elit.
Pengaruh Elit dan Ketidakstabilan Pemimpin Buatan
Pemimpin buatan cenderung rentan terhadap akhir yang kacau setelah masa jabatannya. Meskipun mereka memperoleh posisi dengan performa yang memukau di awal, ekosistem kelahiran mereka menuntut kompensasi ekonomi sebagai ganti ongkos biaya branding dan pemenangan yang telah dikeluarkan. Akibatnya, mereka membuka peluang untuk korupsi melalui berbagai kebijakan yang terlihat patriotik dan kerakyatan.
Korupsi, baik dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan maupun tindak pidana, selalu menciptakan jerat yang mengganggu. Dalam banyak kasus, kolusi, nepotisme, dan dinasti menjadi bagian integral dari sistem kekuasaan yang koruptif. Hal ini dapat terlihat dalam banyak skandal yang berujung pada upaya menyembunyikan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem ini memfasilitasi money politics yang berfokus untuk melindungi skandal-skandal dari perhatian publik.
Akhir kekuasaan pemimpin buatan sering berujung pada fase krisis akibat kekecewaan rakyat yang dipicu oleh berbagai skandal selama masa jabatannya. Tindakan sembrono dan blunder dalam kebijakan sering terjadi akibat tekanan untuk mempertahankan kekuasaan atau menutupi skandal.
Strategi Pemimpin Buatan di Tengah Ancaman Krisis
Pemimpin buatan yang mengalami ketidakstabilan akan berusaha mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Kombinasi ambisi berkuasa dan tindakan defensif untuk menyelamatkan diri dapat mendorong kebijakan yang irasional. Sejarah mencatat banyak pemimpin yang terjebak dalam ambisi, seperti kasus Jacob Zuma di Afrika Selatan yang terlibat dalam skandal besar akibat kurangnya kapasitas mengelola kekuasaan.
Pemimpin buatan yang tidak merasakan pahit getir perjuangan menjadi tergoda untuk menjanjikan hal-hal yang tidak realistis demi mempertahankan citra. Ketika janji-janji tersebut tidak terpenuhi, krisis legitimasi muncul. Kasus Jair Bolsonaro sebagai “penyelamat konservatif” yang gagal menangani persoalan serius seperti Covid-19 menjadi contoh nyata.
Ketergantungan pada elite pendukung juga menjadi penyebab pemimpin buatan rentan terhadap legitimasi. Mereka terpaksa memenuhi tuntutan kelompok elit, yang sering memperumit situasi dan menciptakan konflik kepentingan. Saat suara kritis mulai terdengar, dukungan dari elit pendukung bisa retak, hanya menunggu waktu hingga situasi semakin memburuk.
Media modern yang mengedepankan transparansi memudahkan publik untuk mengidentifikasi skandal dan kesalahan pemimpin, menjadikan kekuasaan yang tidak bersifat alami semakin rapuh. Ketika krisis legitimasi meluas, banyak elit yang dulu mendukung mulai menjauh, berusaha menyelamatkan diri dari implikasi negatif yang ditimbulkan oleh kepemimpinan yang buruk.
Tarian Akhir di Panggung Kekuasaan
Seiring masa jabatannya berakhir, kekuasaan seorang pemimpin buatan kian melemah. Gelar sebagai Sang Naga yang kuat bertransformasi menjadi Sang Rubah yang cerdik. Mereka harus pandai bersembunyi dan menghindari perburuan akibat semakin menjatuhkannya citra di mata publik.
Metafora “Perburuan Penyihir Salem” dalam karya sastra klasik menggambarkan bagaimana kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan dan ketakutan akan runtuh pada akhirnya. Saat masyarakat menyadari kebohongan yang ada, dukungan kepada pemimpin yang tidak memiliki dasar legitimasi demi rakyat akan tergerus.
Kekuasaan yang tidak lahir dari dukungan rakyat akan menciptakan figur pemimpin yang tak memiliki integritas, layak untuk dijadikan pelajaran dalam menciptakan demokrasi yang lebih berkelanjutan. Persoalan ini menuntut keseimbangan antara meritokrasi dan kontrol sistemik untuk menciptakan pemimpin yang berkualitas dan bertanggung jawab pada rakyat.
Pelajaran Akhir dan Harapan untuk Masa Depan
Apakah masyarakat ingin terjebak dalam siklus ini selamanya, di mana pemimpin yang buruk selalu berusaha mengejar ambisi tanpa mempedulikan kepentingan rakyat? Pendidikan politik dan kesadaran kolektif dibutuhkan agar masyarakat bisa memilih pemimpin yang benar-benar dalam kepentingan mereka, menjauhkan diri dari jeratan branding yang menipu.