Post truth mengacu pada kondisi di mana fakta dan kebenaran objektif dianggap kurang penting dibandingkan dengan emosi dan narasi yang dibangun sesuai kepentingan tertentu. Istilah ini sering terkait dengan penyebaran informasi yang menyesatkan dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi yang sah.
Dalam konteks post truth, opini sering kali lebih berpengaruh dibandingkan fakta yang dapat dibuktikan. Hal ini memicu disinformasi, di mana informasi palsu menyebar luas, terutama melalui media sosial.
Disinformasi dan Polarisasi dalam Masyarakat
Disinformasi dapat mengarah pada polarisasi, di mana individu cenderung mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri. Ini memperburuk situasi dengan mengurangi kepercayaan terhadap institusi dan sumber informasi.
Literasi informasi menjadi sangat penting dalam era ini. Masyarakat intelektual berupaya untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya kebenaran dan fakta dalam diskusi publik, terutama di tengah tantangan yang dihadapi oleh proses demokrasi.
Tekanan Politik dan Kebebasan Berpendapat
Kelompok tertentu sering menggunakan isu post truth untuk membungkam suara-suara yang berbeda. Dalam banyak kasus, institusi yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas dipaksa untuk mengambil keputusan yang tidak obyektif di bawah tekanan kekuasaan politik.
Tekanan politik ini terkadang menimbulkan situasi di mana oposisi atau kritik terlihat semakin lemah, dan pelaksanaan kebijakan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu. Hal ini membuka ruang bagi literasi publik untuk semakin disorot dan dibutuhkan.
Rekomendasi Literatur untuk Pemahaman Lebih Dalam
Untuk memperdalam pemahaman mengenai isu ini, karya seperti How Fascism Works oleh Jason Stanley menjelaskan bagaimana narasi alternatif diciptakan dan digunakan untuk membungkam kritik. Buku ini memberikan jalan bagi pembaca untuk menganalisis pengaruh retorika dalam kebijakan publik.
Sebaliknya, The Origins of Totalitarianism oleh Hannah Arendt menguraikan bagaimana rezim totaliter menghancurkan kebenaran objektif dan menciptakan propaganda yang menyesatkan. Ini memberikan perspektif yang lebih luas mengenai bagaimana hukum dan kekuasaan dapat digunakan untuk menekan perbedaan pendapat.
Selain itu, On Tyranny oleh Timothy Snyder mencakup taktik modern dalam melegitimasi kebohongan dan dampaknya terhadap masyarakat. Masing-masing buku ini menawarkan perspektif yang relevan untuk membahas post truth dan dampaknya terhadap demokrasi.
Budaya dan Penekanan Kebenaran
Menurut Michiko Kakutani dalam The Death of Truth, post truth bukan hanya fenomena politik, namun juga mencerminkan budaya yang berkembang. Teori politik menunjukkan bahwa kebenaran adalah konstruksi sosial yang tidak netral.
Michel Foucault merangkum hal ini dalam konsep “rezim kebenaran” di mana kekuasaan mengatur narasi untuk mendukung kepentingannya. Jadi, post truth dapat dilihat sebagai strategi untuk menciptakan narasi yang mendukung kekuasaan tertentu serta mempengaruhi identitas kolektif.
Faktor Pendorong Post Truth
- Perkembangan teknologi dan fragmentasi informasi membuat penyebaran disinformasi semakin cepat. Media sosial berperan besar dalam memperkuat “gelembung epistemik” di mana individu hanya terpapar informasi yang sejalan dengan pandangan mereka.
- Krisis kepercayaan pada otoritas ilmiah membuat banyak orang meragukan fakta dan sains. Hal ini memberi peluang bagi aktor politik untuk mengklaim kebenaran versi mereka sendiri, yang sering kali tidak berdasarkan bukti yang valid.
Neoliberalisme dan Komodifikasi Kebenaran
Proses komodifikasi kebenaran memungkinkan kekuasaan politik dan korporasi menciptakan narasi yang menguntungkan kepentingan mereka. Wendy Brown dalam Undoing the Demos menguraikan bagaimana logika pasar dapat merubah kebenaran menjadi komoditas.
Shoshana Zuboff menyoroti bagaimana kontrol atas data dan algoritma memungkinkan manipulasi opini publik secara luas. Hal ini berkontribusi pada pergeseran cara pandang masyarakat terhadap kebenaran dan fakta.
Meninjau Masa Depan Post Truth
Dalam perspektif pesimistis, analisis menyatakan bahwa kapitalisme dan teknologi bertepatan berpotensi memperdalam krisis ini. Namun, pandangan optimis menyebutkan kemungkinan untuk membangun ruang publik yang sehat melalui upaya literasi media dan advokasi transparansi.
Generasi muda juga berperan krusial dalam menggugat narasi yang ada. Gerakan seperti #BlackLivesMatter dan #MeToo menunjukkan bagaimana kesadaran kolektif dapat mengungkapkan kebenaran yang selama ini ditutupi.
Melalui kasus-kasus tersebut, terlihat betapa pentingnya memanfaatkan perkembangan teknologi dan platform sosial untuk menantang narasi dominan yang mengabaikan keadilan sosial. Ini menjadi tantangan bagi setiap generasi untuk terus menerus berupaya mencari dan mempertahankan kebenaran.
Di Indonesia, sebenarnya post truth pun berkembang, meskipun kadang sulit untuk dikenali. Situasi ini mencerminkan kompleksitas yang ada, di mana masyarakat masih menghadapi berbagai tantangan pendidikan dan informasi. Masyarakat perlu terus berjuang untuk meraih kejelasan dan keadilan dalam proses politik.
Dengan harapan, perjalanan ke arah yang lebih baik akan dimulai dari kesadaran kolektif dan aksi nyata para generasi muda. Kemandirian berpikir dan kritis terhadap narasi yang ada adalah langkah pertama untuk meraih perubahan signifikan.
Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.