www.fokustempo.id – Perekonomian Indonesia saat ini berada pada titik kritis, di mana berbagai faktor berkontribusi pada ketidakstabilan yang mengancam. Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, fenomena ini berpotensi mengguncang tatanan sosial di negeri ini.
Dia mengungkapkan bahwa salah satu indikator krisis adalah lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara serentak di banyak daerah, yang menunjukkan adanya masalah keuangan negara. Situasi ini tidak bisa diabaikan, mengingat dampaknya bisa merembet ke lapisan masyarakat yang lebih luas.
Kenaikan pajak juga mencerminkan kondisi fiskal yang semakin memprihatinkan. Dalam pandangan Anthony, tindakan pemerintah yang terkesan lepas tangan hanya akan memperburuk keadaan yang ada.
Argumen Kritis Mengenai Kebijakan Fiskal Pemerintah
Anthony menekankan bahwa tanggung jawab pemerintah untuk mengatasi masalah fiskal tidak berjalan dengan baik. Pemerintah pusat, terutama Kementerian Keuangan, tampak lebih memilih untuk mencari solusi instan daripada menyelesaikan masalah di akarnya.
Dia mencatat bahwa pemotongan transfer dana ke daerah yang dilakukan oleh pemerintah berimplikasi besar. Penurunan dana sebesar Rp50,5 triliun pada Februari 2025 hanya menambah beban daerah untuk mandiri dalam mencari pendapatan.
Lebih parahnya, proyeksi krisis fiskal nasional kini dialihkan ke masalah di tingkat daerah. Hal ini dapat menjadi pemicu ketidakstabilan politik dan sosial yang lebih luas, terutama ketika daerah tidak siap dengan perubahan ini.
Dampak Lonjakan Utang Terhadap Keuangan Negara
Lonjakan utang negara terlihat jelas dalam konteks pemerintahan yang berjalan. Anthony mencatat bahwa utang pemerintah Indonesia tumbuh pesat dari Rp2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp8.680 triliun pada akhir 2024.
Lonjakan utang ini kemudian membawa konsekuensi pada beban bunga yang semakin besar, di mana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi semakin tertekan. Beban bunga utang yang membengkak membuat hampir seperempat dari penerimaan pajak pemerintah habis untuk membayar bunga utang.
Situasi ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat justru terkuras habis untuk kepentingan pembayaran utang. Akibatnya, anggaran untuk program-program sosial dan pembangunan juga mengalami penurunan yang signifikan.
Krisis Fiskal dan Potensi Kegaduhan Sosial
Menurut Anthony, kondisi fiskal yang kritis ini dapat memicu kegaduhan sosial di berbagai daerah. Ketidakpuasan masyarakat dapat meningkat seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampaknya di lapangan.
Pemerintah perlu mengambil langkah strategis agar tidak terjebak dalam siklus utang yang semakin menekan. Salah satu solusi yang disarankan adalah memperkuat basis pajak dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara.
Penting untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan agar kebijakan yang dihasilkan lebih menjawab kebutuhan riil. Keterlibatan publik ini dapat membantu menciptakan transparansi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dalam konteks ini, Anthony mengingatkan bahwa keberlanjutan ekonomi sangat bergantung pada bagaimana pemerintah menghadapi tantangan ini. Kesadaran serta tindakan cepat dan tepat oleh pemerintah dapat mencegah terjadinya krisis yang lebih dalam.
Menghimbau pada semua pihak untuk bersinergi dalam mencari solusi adalah langkah yang perlu diambil. Dalam kondisi saat ini, kolaborasi antar stakeholder bisa menjadi kunci untuk mengatasi masalah yang ada.
Semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, harus sejalan dalam menangani isu-isu fiskal agar dapat mencegah dampak yang merugikan bagi masyarakat. Jika tidak, masa depan ekonomi Indonesia bisa terancam dan ketidakstabilan sosial menjadi hal yang tidak bisa dihindari.