www.fokustempo.id – Sejarah lingkungan di Indonesia sering kali terabaikan dalam kajian sejarah yang lebih luas. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama di era ketika perubahan iklim semakin mendesak untuk dibahas. Saatnya untuk menempatkan kajian ini di posisi yang lebih penting, sebagai bagian dari solusi untuk krisis ekologi yang dihadapi saat ini.
Diana Suhardiman, seorang peneliti terkemuka, menekankan bahwa masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini bukanlah hal baru. Banyak pengetahuan lokal yang ada di masyarakat sebelumnya, jika digali lebih dalam, dapat memberikan wawasan yang signifikan dalam mengatasi isu-isu kontemporer ini.
Dalam pandangannya, sejarah lingkungan seharusnya melihat alam sebagai aktor yang berinteraksi dengan manusia. Makna dari gunung, sungai, dan segala makhluk hidup lainnya berada dalam konteks interaksi ini, bukan hanya sebagai objek yang terpisah dari manusia.
Penggunaan sejarah lisan sebagai metode penggalian juga sangat penting, menurut Diana. Metode ini berfungsi untuk menggali narasi-narasi yang selama ini terabaikan oleh arsip-arsip arsip tertulis. Dengan demikian, proses dekolonialisasi dapat berlangsung, dengan harapan dapat membebaskan perspektif yang terdominasi dalam sejarah.
Selama bertahun-tahun, pengetahuan lokal seringkali diabaikan oleh standar saintifik. “Ada kebutuhan untuk menyelaraskan pengetahuan ini dengan kebutuhan zaman kita, seperti pada era Revolusi Hijau yang menuntut standardisasi produk pertanian,” menurutnya.
Diana juga menyoroti bahwa penting untuk mengenali narasi-narasi alternatif yang memberikan kontribusi pada pemahaman sejarah lingkungan yang lebih kaya. Narasi-narasi ini, yang mungkin diabaikan, berpotensi memberikan solusi dalam menghadapi tantangan krisis lingkungan global.
Menggali Pentingnya Sejarah Lingkungan dalam Konteks Sosial
Dalam pandangannya, memahami sejarah lingkungan tidak dapat terpisahkan dari konteks sosial yang ada. Diana menegaskan bahwa isu lingkungan adalah isu kemanusiaan dan harus mencakup kebutuhan serta hak-hak masyarakat. “Lingkungan dan manusia tidak bisa dipisahkan, keduanya saling bergantung satu sama lain,” ujarnya.
Sejarah lingkungan bukan hanya soal melestarikan alam, tetapi juga menjadi bagian penting dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Konsep ini sangat relevan bagi masyarakat adat yang menganggap hutan bukan hanya sekadar sumber daya, tetapi merupakan tempat kehidupan yang vital bagi keberlangsungan mereka.
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah di Universitas sudah menjelaskan bahwa sejarah lingkungan memberikan pengetahuan yang relevan, terutama saat kita menghadapi kerusakan ekosistem. “Kita perlu memahami bahwa semua ini berhubungan dengan kondisi sosial dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan mereka,” katanya.
Dia juga menekankan bahwa penting untuk mengaitkan pelajaran sejarah dengan realitas sosial yang ada. Dengan begitu, kita bisa lebih memahami konteks yang lebih luas tentang lingkungan di berbagai daerah di Indonesia.
Kerusakan didapati di berbagai tempat juga menjadi perhatian serius. “Naiknya suhu global dan perubahan iklim adalah isu yang nyata dan mesti kita hadapi bersama,” ungkap dia, menyoroti pentingnya menyadari dampak dari eksploitasi resources yang lebih besar daripada kemampuan lingkungan dalam memulihkan diri.
Usaha Dokumentasi Sejarah Lingkungan di Kalisat
Sebuah inisiatif menarik telah dimulai di Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember, oleh komunitas yang dipelopori RZ Hakim dan istrinya, Zuhana. Mereka berusaha mendokumentasikan memori kolektif masyarakat terkait perubahan ekosistem yang terjadi di sekeliling mereka.
Melalui peta ingatan, cerita lisan, dan tradisi lokal, mereka berupaya menyusun kembali sejarah lingkungan dari perspektif masyarakat setempat. “Kami tidak hanya mendokumentasikan, tetapi juga mencoba memahami perubahan yang telah terjadi dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan mereka,” jelas Hakim.
Pendokumentasian ini lebih dari sekadar nostalgia; ini adalah usaha untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya perubahan yang terjadi. “Melalui ingatan kolektif, kita dapat belajar banyak tentang bagaimana masyarakat berinteraksi dengan ekosistem,” tambahnya.
Namun, dia mengakui bahwa tantangan terbesar adalah ketergantungan pada narasi dari para penutur. Setiap desa atau komunitas memiliki cara pandang yang berbeda terkait lingkungan, sehingga menjadi penting untuk menangkap variasi tersebut.
“Aturan desa satu dengan yang lain bisa berbeda. Misalnya, di Desa Ajung, ada larangan menebang pohon di hari Rabu, sementara di Kalisat, aturannya sedikit berbeda,” jelas Hakim, menunjukkan kompleksitas yang ada dalam menggali sejarah lokal.
Pentingnya Kesadaran Kolektif dalam Pembangunan Sejarah Lingkungan
Hakim meyakini pentingnya membangun kesadaran kolektif sebagai langkah untuk mencapai tujuan ini. “Kita perlu memahami bahwa pengetahuan lokal sangat berharga dan bisa membantu kita menghadapi tantangan di masa depan,” tegasnya.
Dia menemukan banyak hal menarik saat mendokumentasikan sejarah lingkungan di Jember. “Ruang geografis Jember memberikan banyak potensi untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan sejarah yang selama ini kosong,” katanya.
Misalnya, ada flora dan fauna yang unik di Jember yang bisa dijadikan narasi tambahan bagi sejarah lingkungan di daerah tersebut. “Mengapa Jember memiliki spesies tertentu yang tidak ada di tempat lain? Semua pertanyaan ini membantu menambah pemahaman akan sejarah lokal,” tambahnya.
Dengan penemuan penting dalam sejarah dan budaya, Hal ini menciptakan peluang untuk menyusun narasi yang lebih kaya dan terstruktur. “Ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita, tetapi juga membantu menunjukkan bagaimana tradisi dan lingkungan saling mendukung,” ujarnya.
Menurut Hakim, dengan melibatkan banyak perspektif, kita bisa menciptakan narasi yang tidak hanya harmonis dengan ilmu akademis, tetapi juga relevan dengan kondisi lokal. “Dengan cara ini, kita bisa menjaga agar narasi sejarah tetap hidup dan terintegrasi,” katanya.