Ponorogo – Cuaca ekstrem yang menerpa wilayah lereng Gunung Wilis selama dua pekan terakhir telah memberikan dampak buruk bagi para petani sayur di Desa Pudak Kulon, Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Hujan deras yang terus menerus mengguyur membuat banyak tanaman tidak dapat dipanen dan membusuk. Ironisnya, hasil panen yang masih bisa diselamatkan terpaksa dijual dengan harga yang sangat rendah.
Salah satu petani, Langgeng Setiyono, merasakan dampak langsung dari cuaca buruk ini. Lahan pertaniannya yang berupa guludan dipenuhi dengan tanaman sayur seperti sawi, bunga kol, dan kacang kapri, kini tampak tidak segar. Sejumlah tanaman bahkan menghitam dan roboh akibat guyuran air hujan yang terus menerus.
“Biasanya panen bisa mencapai dua ton, sekarang paling-paling hanya satu ton yang bisa diselamatkan. Banyak yang membusuk,” ungkap Langgeng dengan nada lesu, menggambarkan kondisi sulit yang dihadapinya.
Bencana yang dihadapi petani tidak hanya terjadi di ladang, tetapi juga mempengaruhi harga jual hasil panen mereka. Bawang prei yang biasanya terjual antara Rp7.000 hingga Rp10.000 per kilogram, kini hanya dihargai Rp3.000. Sawi yang sebelumnya laku antara Rp4.000 hingga Rp5.000 kini hanya bisa dijual seharga Rp2.500. Harga bunga kol anjlok dari Rp8.000 menjadi Rp1.500 per kilogram. Sementara itu, harga kacang kapri jatuh dari Rp50.000 menjadi hanya Rp12.000 per kilogram.
“Pasrah saja, Mas. Semua sudah terjadi dan kita tidak bisa berbuat banyak,” ungkap Jarno, petani lainnya yang juga terkena dampak serupa.
Petani di Desa Pudak Kulon merasa tidak memiliki banyak pilihan selain berharap agar cuaca segera kembali normal, sehingga mereka tidak kehilangan semua benih dan biaya tanam yang telah mereka keluarkan. Harapan mereka kini tertuju pada musim tanam berikutnya agar kerugian yang mereka alami tidak terulang.
Cuaca Ekstrem dan Dampaknya terhadap Pertanian
Desa Pudak Kulon dikenal sebagai salah satu sentra hortikultura di kawasan timur Ponorogo, namun cuaca yang tak menentu berpotensi menyebabkan kegagalan panen. Fenomena perubahan iklim dan curah hujan yang tinggi menciptakan tantangan tersendiri bagi petani. Kurangnya sistem perlindungan seperti asuransi pertanian membuat petani semakin rentan menghadapi risiko yang bisa mengancam penghidupan mereka.
Data menunjukkan bahwa frekuensi cuaca ekstrem semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang diduga berkaitan dengan perubahan iklim global. Kondisi ini tentu sangat merugikan para petani yang bergantung pada hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan harga yang terus anjlok, para petani harus mencari solusi alternatif untuk bertahan, mulai dari diversifikasi tanaman hingga memasuki pasar langsung.
Strategi Beradaptasi untuk Menghadapi Cuaca yang Tak Menentu
Menghadapi tantangan ini, petani perlu menerapkan berbagai strategi untuk beradaptasi. Salah satu solusi yang mulai banyak diterapkan adalah diversifikasi tanaman. Dengan menanam berbagai jenis sayuran, petani berharap dapat mengurangi risiko kerugian jika satu jenis tanaman gagal panen. Selain itu, pemerintahan dan lembaga terkait perlu memberikan dukungan dalam bentuk pelatihan dan akses ke teknologi pertanian yang lebih baik.
Di samping itu, edukasi tentang pentingnya asuransi pertanian juga harus digalakkan. Dengan adanya asuransi, petani bisa lebih tenang berinvestasi dalam pertanian meskipun ada risiko cuaca ekstrem. Kesadaran dan pengetahuan mengenai asuransi ini sangat penting untuk menciptakan ketahanan bagi petani lokal. Dengan langkah-langkah semacam ini, diharapkan para petani bisa tetap berproduksi dan mendapatkan penghasilan yang layak meskipun menghadapi cuaca buruk.
Desa Pudak Kulon dan petani di sekitarnya berharap agar kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta semakin erat. Hanya dengan dukungan yang solid, mereka bisa bangkit kembali dari kondisi sulit ini dan menghindari kerugian yang sama di masa depan.