www.fokustempo.id – Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, lebih dikenal dengan sebutan Tom Lembong, kembali menjadi sorotan publik ketika ia membacakan pledoi dalam sidang kasus dugaan korupsi impor gula di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam nota pembelaannya, ia dengan tegas menyampaikan pandangannya tentang proses hukum yang tengah ia lalui, menunjukkan bagaimana pengalaman selama sembilan bulan terakhir telah mengubah perspektifnya terhadap sistem hukum yang ada.
Tom Lembong juga menyampaikan bahwa keputusan untuk bergabung dengan tim pemenangan Anies Baswedan di Pilpres 2024 merupakan sebuah sinyal potensial akan adanya ancaman kriminalisasi yang mengarah kepadanya. Pernyataan ini menyoroti hubungan kompleks antara politik dan hukum di Indonesia, di mana langkah politik seseorang dapat berimplikasi pada proses hukum yang dihadapi.
Dalam pembelaan yang disampaikan, Tom menegaskan bahwa dugaan kerugian negara yang dibebankan padanya tidak mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Ia menggunakan istilah “menggeser gawang” untuk menggambarkan bagaimana jaksa memposisikan ulang kasus yang menerpa dirinya, menciptakan kabut legalitas atas tindakan yang diambil dalam posisi sebagai pejabat publik.
Proses Hukum yang Dipertanyakan dalam Kasus Korupsi
Salah satu titik krusial dalam pledoi Tom adalah kedudukan audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang belum final, tetapi dirinya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Ia menekankan bahwa proses ini tidak berjalan sesuai dengan kaidah hukum yang seharusnya dihormati, menciptakan ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Tom juga menyoroti bahwa dalam proses hukum tersebut, jaksa tidak pernah membuktikan tuduhan bahwa ia menerima sesuatu yang tidak semestinya dari kegiatan impor yang dilakukan. Keterbatasan bukti telah menciptakan ketidakpastian yang merugikan posisinya dalam sidang tersebut.
Melanjutkan penjelasannya, Tom menyatakan bahwa tuduhan yang dihadapinya terkesan sewenang-wenang dan telah berubah demikian drastis dalam waktu singkat, misalnya, dari empat bulan setelah dakwaan awal. Hal ini menunjukkan bahwa ada ketidakstabilan dalam argumen jaksa yang dapat mempengaruhi hasil dari sidang tersebut.
Polemik Implikasi Kebijakan Impor Gula
Dalam salah satu konferensi pers yang dilakukan pada Oktober 2024, Tom menyampaikan pengamatan mengenai kerugian yang dialami oleh BUMN akibat penugasan impor yang diberikan kepada swasta. Hal ini mengisyaratkan adanya masalah struktural dalam pengelolaan kebijakan dan dampaknya terhadap profitabilitas negara, serta menciptakan dilema dalam administrasi pemerintahan.
Sementara itu, dalam dakwaan yang dikeluarkan pada Februari 2025, tercatat pernyataan bahwa Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) telah membayar harga beli gula putih jauh di atas Harga Pokok Penjualan (HPP). Menanggapi hal ini, Tom menggabungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai jalannya proses hukum dengan argumen soal efisiensi industri.
Tom berpendapat bahwa impor gula mentah menghasilkan bea masuk dan PDRI (Pemasukan Devisa dari Rakyat Indonesia) yang lebih rendah dibandingkan impor gula putih. Dalam analisisnya, jika tindakan mengimpor bahan mentah dikategorikan sebagai tindak pidana, hal ini bisa menandakan bahwa banyak kegiatan industri yang selama ini dianggap legal juga seharusnya ditutup.
Melihat Keterkaitan Antara Politik dan Proses Hukum
Dengan memperhatikan semua poin ini, Tom menunjukkan bahwa isu-isu hukum yang dihadapinya tidak bisa dipisahkan dari konteks politik yang lebih luas. Ia menggarisbawahi gambaran bahwa ketidakadilan hukum sering kali berpadu dengan dinamika politik, yang mana seorang pejabat publik dapat terjebak dalam permainan politik yang kompleks.
Dalam catatan pledoinya, Tom menggambarkan pengalaman yang dialaminya selama delapan bulan sebagai momen pembelajaran yang berharga. Hal ini membawanya untuk merenung lebih dalam tentang bagaimana hubungan antara kekuasaan dan hukum dapat saling memengaruhi, menciptakan tantangan bagi individu yang berusaha menjalani karir publik dengan integritas.
Dengan demikian, pernyataan Tom Lembong dalam pledoinya bukan hanya memperlihatkan pembelaan pribadi, tetapi juga sebuah refleksi kritis mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin terjadi dalam penegakan hukum. Ini membuka diskusi lebih luas tentang transparansi dan integritas dalam proses hukum di Indonesia saat ini.