www.fokustempo.id – Aktivitas manufaktur di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada bulan Juni 2025, membuat banyak pihak khawatir akan prospek ekonomi mendatang. Indeks Pembelian Manajer (PMI) untuk sektor manufaktur menunjukkan angka yang memburuk, menandakan ancaman serius bagi perekonomian nasional.
Data dari PMI yang dilaporkan menunjukkan angka 46,9 pada bulan Juni, sebuah sinyal bahwa industri sedang berada dalam fase kontraksi. Sebelumnya, angka PMI masing-masing terkompresi pada 46,7 dan 47,4 untuk bulan April dan Mei, menandakan tren negatif yang terus berlanjut.
Secara relatif, perekonomian Indonesia tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Meskipun negara lain menunjukkan pertumbuhan positif, Indonesia justru terjebak dalam stagnasi yang mengkhawatirkan. Hal ini berdampak pada sektor tenaga kerja yang juga mengalami penurunan, menciptakan suasana ketidakpastian di kalangan pelaku bisnis.
Dengan banyak perusahaan yang mulai mengungkapkan kekhawatiran tentang ekonomi global, kepercayaan bisnis merosot ke titik terendah dalam delapan bulan terakhir. Hal ini semakin memperburuk suasana yang sudah tidak kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.
Dari data yang diolah oleh berbagai lembaga, jumlah penduduk kelas menengah juga mengalami penurunan. Dari 21,45% pada tahun 2019, kini tersisa hanya 17% pada tahun 2024, yang berarti terdapat pengurangan total sebanyak 9,48 juta jiwa. Ini adalah indikator yang jelas bahwa daya beli masyarakat mulai tergerus oleh berbagai faktor, termasuk inflasi.
Pergerakan kelas menengah di Indonesia tidak dapat dipandang remeh, karena kelompok ini memegang peranan penting dalam membentuk permintaan barang dan jasa. Dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, potensi kontribusi mereka terhadap PDB juga terancam berkurang.
Dampak Penurunan PMI Terhadap Perekonomian Nasional
Penurunan indeks PMI beruntun memberikan dampak serius terhadap pertumbuhan jangka pendek. Kontraksi yang terus terjadi menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi bukanlah fluktuasi sementara, melainkan sebuah kondisi yang memerlukan perhatian mendalam.
Pertumbuhan ekonomi yang terdesak kemungkinan besar akan mengakibatkan pengangguran struktural, yang mana akan semakin menggerus daya beli masyarakat. Hal ini berpotensi memengaruhi konsumsi domestik yang saat ini mendominasi PDB Indonesia.
Di sisi lain, dengan tingkat kepercayaan bisnis yang terus menurun, banyak investasi yang tertunda. Perusahaan lebih memilih untuk menahan kapasitas produksinya, menunggu sinyal pemulihan yang mungkin belum muncul dalam waktu dekat.
Kontraksi di sektor manufaktur juga dapat berdampak lanjutan kepada sektor-sektor pendukung, seperti logistik dan energi. Dengan kondisi ini, pemulihan ekonomi nasional harus menjadi prioritas, mengingat dampaknya yang luas bagi kehidupan masyarakat.
Dengan situasi yang tidak menentu, kebijakan moneter dan fiskal yang proaktif sangat diperlukan. Pelonggaran moneter bisa menjadi salah satu solusi, tetapi harus diimbangi dengan perhatian pada inflasi dan stabilitas nilai tukar.
Risiko Ekonomi Global dan Dampaknya pada Indonesia
Permintaan global yang lesu menjadi salah satu tantangan utama yang harus dihadapi. Banyak pelaku usaha mengkhawatirkan penurunan permintaan ekspor, terutama dari pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China yang berpotensi memicu penurunan harga komoditas.
Ketidakstabilan rantai pasok yang disebabkan oleh ketegangan geopolitik juga memberikan tekanan lebih lanjut pada sektor industri. Biaya produksi meningkat, yang akan memperburuk margin keuntungan bagi perusahaan-perusahaan lokal.
Tren pelemahan yang terjadi secara global, yang diistilahkan sebagai synchronized slowdown, menunjukkan bahwa Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Kontraksi di negara lain memperkuat potensi ancaman resesi global, yang bisa berdampak serius terhadap perekonomian domestik.
Respon kebijakan dalam menghadapi tantangan global ini juga tidak bisa dianggap sepele. Setiap langkah yang diambil harus memperhitungkan dampak jangka panjang, serta kesiapan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di pasar internasional.
Adanya sinyal positif dari kebijakan untuk merangsang investasi dan konsumsi domestik menjadi harapan di tengah tantangan yang mendera. Namun, setiap kebijakan yang diambil harus ditujukan untuk memberikan dampak yang nyata dan terukur.
Penurunan Kelas Ekonomi Menengah di Indonesia
Penurunan kelas menengah menjadi perhatian serius, sebab kelas ini menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Dari 57,33 juta orang pada tahun 2019, jumlah ini menyusut menjadi 47,85 juta jiwa pada tahun 2024. Penurunan jumlah ini mengikuti arus inflasi dan stagnasi upah yang terjadi.
Dampaknya sangat luas, mencakup penurunan daya beli masyarakat dan melemahnya konsumsi domestik. Hal ini mengindikasikan adanya risiko berlanjut terhadap keberlangsungan perekonomian, khawatirnya kelas menengah akan terpecah menjadi kelas bawah akibat faktor-faktor yang tidak menguntungkan.
Pekerja di sektor formal yang terancam oleh potensi PHK perlu mendapatkan perlindungan yang lebih baik. Kebijakan yang memastikan adanya dukungan bagi kelas menengah sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Wirausaha, terutama di sektor UMKM dan startup, memainkan peranan krusial dalam pemulihan. Dengan banyak dari mereka yang mencari inovasi dan adaptasi, dukungan dalam bentuk pelatihan dan pendanaan menjadi hal yang sangat diperlukan.
Keberadaan pekerja dengan karakteristik hybrid, yang mengandalkan usaha sampingan, menunjukkan betapa pentingnya fleksibilitas dalam menghadapi tantangan ekonomi. Adanya regulasi yang mendukung keberlangsungan pekerjaan sampingan dapat memperkuat keamanan finansial mereka.