Bupati Muhammad Fawait meminta Gogot Cahyo Baskoro untuk berdiri dan diperkenalkan kepada ribuan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam seremoni penyerahan surat keputusan kepegawaian di Pantai Watu Ulo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu (1/6/2025).
Setelah memperkenalkan Gogot, Fawait menyiratkan bahwa TP3D yang dibentuk sebelumnya menuai berbagai kontroversi. “Ah, ini yang viral ditanyakan keabsahannya, padahal enggak dapat bayaran setiap bulannya. Sabar,” ujarnya, disambut tawa sebagian hadirin.
Kontroversi di Balik Pembentukan TP3D
TP3D (Tim Percepatan Pembangunan Daerah) yang beranggotakan 13 orang, terdiri dari profesi beragam, termasuk akademisi dan praktisi, justru menjadi perdebatan hangat. Tim ini dipimpin oleh Gogot, yang sebelumnya menjadi komisioner KPU Jawa Timur. “Tugasnya adalah membantu bupati dan memberikan saran terkait kebijakan-kebijakan,” jelas Kepala Bagian Hukum Pemkab Jember, Ahmad Zaenurrofik.
Tetapi, pembentukan TP3D dianggap bertentangan dengan semangat efisiensi dan pedoman pemerintah pusat. Kepala BKN, Zudan Arif, pernah mengingatkan tentang pengurangan tenaga ahli dan staf khusus dalam administrasi pemerintahan. Keberadaan TP3D pun tidak luput dari sorotan, terutama terkait biaya operasional yang mungkin membebani anggaran daerah.
Pandangan Masyarakat dan Anggota Dewan
Seorang aktivis masyarakat sipil, Agus MM, menilai bahwa pembentukan TP3D tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Ia menginginkan agar struktur pemerintahan daerah lebih dikoordinasikan oleh Bappeda, tanpa melibatkan orang luar yang menambah beban anggaran. “Semangat efisiensi harus menjadi prioritas utama,” tegas Agus.
Agus menyoroti bahwa anggota TP3D belum tentu memiliki kompetensi yang relevan dengan tugas yang diemban. Hal ini juga diungkapkan oleh anggota Komisi D DPRD Jember, Muhammad Ahmad Birbik Munajil Hayat, yang merasa keberadaan TP3D tidak seharusnya memiliki kekuatan untuk memanggil dan memberi instruksi kepada OPD. “TP3D seharusnya hanya memberikan saran kepada Bupati dan bukan mengambil alih tugas Dewan,” ujarnya.
Kritik ini mengarah pada surat keputusan yang mendasari pembentukan TP3D. “Ada aspek hukum yang harus diikuti dalam pengelolaan pemerintahan daerah,” tambah Agus. Pemanggilan TP3D oleh DPRD Jember pun menjadi opsi yang dipertimbangkan untuk memahami peran dan fungsinya dengan lebih jelas.
Meski kritikan terus mengemuka, Nyoman Aribowo, salah satu anggota TP3D, mengekspresikan bahwa tugas mereka adalah membantu Bupati dalam pelaksanaan program pembangunan dan mengingatkan OPD untuk memenuhi target. “Kami tidak menerima bayaran. Itu hanya dilaksanakan untuk mempercepat pembangunan sesuai yang diinginkan Bupati,” jelasnya.
TP3D juga menyebutkan pentingnya komunikasi antara berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk camat dan pemerintah desa, untuk memastikan validasi data kependudukan. “Kami membantu menjembatani komunikasi, agar semua laporan terkoordinasi dengan baik,” kata Nyoman. Semua kegiatan yang dilakukan oleh TP3D dilaporkan secara rutin kepada Bupati.
Proses ini mendapatkan perhatian dari para aktivis dan anggota dewan. Achmad Farid, seorang pengacara, mendesak agar masalah ini ditangani secara serius oleh DPRD Jember. “Harus ada kontrol yang jelas, karena ini menyangkut kepentingan publik,” ungkapnya.
Dari kalangan DPRD, Birbik mencatat bahwa agenda pemanggilan TP3D memang pernah dibahas. Ia menekankan bahwa kontrol terhadap kebijakan harus ada, terutama dalam konteks tentang bagaimana kompetensi dan regulasi yang berkaitan dengan TP3D. “Kita semua ingin pengelolaan daerah berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pro rakyat,” tegasnya.
Sikap ini menunjukkan bahwa keberadaan TP3D tidak hanya menjadi isu internal pemerintahan, tetapi juga memiliki dampak luas bagi masyarakat. Setiap langkah dan keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah harus mencerminkan transparansi dan akuntabilitas. APakah TP3D bisa bertahan dan berfungsi sesuai dengan harapan, atau justru menjadi beban bagi pemerintahan? Hanya waktu yang akan menjawab.
Bupati Muhammad Fawait meminta Gogot Cahyo Baskoro untuk berdiri dan diperkenalkan kepada ribuan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam seremoni penyerahan surat keputusan kepegawaian di Pantai Watu Ulo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu (1/6/2025).
Setelah memperkenalkan Gogot, Fawait menyiratkan bahwa TP3D yang dibentuk sebelumnya menuai berbagai kontroversi. “Ah, ini yang viral ditanyakan keabsahannya, padahal enggak dapat bayaran setiap bulannya. Sabar,” ujarnya, disambut tawa sebagian hadirin.
Kontroversi di Balik Pembentukan TP3D
TP3D (Tim Percepatan Pembangunan Daerah) yang beranggotakan 13 orang, terdiri dari profesi beragam, termasuk akademisi dan praktisi, justru menjadi perdebatan hangat. Tim ini dipimpin oleh Gogot, yang sebelumnya menjadi komisioner KPU Jawa Timur. “Tugasnya adalah membantu bupati dan memberikan saran terkait kebijakan-kebijakan,” jelas Kepala Bagian Hukum Pemkab Jember, Ahmad Zaenurrofik.
Tetapi, pembentukan TP3D dianggap bertentangan dengan semangat efisiensi dan pedoman pemerintah pusat. Kepala BKN, Zudan Arif, pernah mengingatkan tentang pengurangan tenaga ahli dan staf khusus dalam administrasi pemerintahan. Keberadaan TP3D pun tidak luput dari sorotan, terutama terkait biaya operasional yang mungkin membebani anggaran daerah.
Pandangan Masyarakat dan Anggota Dewan
Seorang aktivis masyarakat sipil, Agus MM, menilai bahwa pembentukan TP3D tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Ia menginginkan agar struktur pemerintahan daerah lebih dikoordinasikan oleh Bappeda, tanpa melibatkan orang luar yang menambah beban anggaran. “Semangat efisiensi harus menjadi prioritas utama,” tegas Agus.
Agus menyoroti bahwa anggota TP3D belum tentu memiliki kompetensi yang relevan dengan tugas yang diemban. Hal ini juga diungkapkan oleh anggota Komisi D DPRD Jember, Muhammad Ahmad Birbik Munajil Hayat, yang merasa keberadaan TP3D tidak seharusnya memiliki kekuatan untuk memanggil dan memberi instruksi kepada OPD. “TP3D seharusnya hanya memberikan saran kepada Bupati dan bukan mengambil alih tugas Dewan,” ujarnya.
Kritik ini mengarah pada surat keputusan yang mendasari pembentukan TP3D. “Ada aspek hukum yang harus diikuti dalam pengelolaan pemerintahan daerah,” tambah Agus. Pemanggilan TP3D oleh DPRD Jember pun menjadi opsi yang dipertimbangkan untuk memahami peran dan fungsinya dengan lebih jelas.
Meski kritikan terus mengemuka, Nyoman Aribowo, salah satu anggota TP3D, mengekspresikan bahwa tugas mereka adalah membantu Bupati dalam pelaksanaan program pembangunan dan mengingatkan OPD untuk memenuhi target. “Kami tidak menerima bayaran. Itu hanya dilaksanakan untuk mempercepat pembangunan sesuai yang diinginkan Bupati,” jelasnya.
TP3D juga menyebutkan pentingnya komunikasi antara berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk camat dan pemerintah desa, untuk memastikan validasi data kependudukan. “Kami membantu menjembatani komunikasi, agar semua laporan terkoordinasi dengan baik,” kata Nyoman. Semua kegiatan yang dilakukan oleh TP3D dilaporkan secara rutin kepada Bupati.
Proses ini mendapatkan perhatian dari para aktivis dan anggota dewan. Achmad Farid, seorang pengacara, mendesak agar masalah ini ditangani secara serius oleh DPRD Jember. “Harus ada kontrol yang jelas, karena ini menyangkut kepentingan publik,” ungkapnya.
Dari kalangan DPRD, Birbik mencatat bahwa agenda pemanggilan TP3D memang pernah dibahas. Ia menekankan bahwa kontrol terhadap kebijakan harus ada, terutama dalam konteks tentang bagaimana kompetensi dan regulasi yang berkaitan dengan TP3D. “Kita semua ingin pengelolaan daerah berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pro rakyat,” tegasnya.
Sikap ini menunjukkan bahwa keberadaan TP3D tidak hanya menjadi isu internal pemerintahan, tetapi juga memiliki dampak luas bagi masyarakat. Setiap langkah dan keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah harus mencerminkan transparansi dan akuntabilitas. APakah TP3D bisa bertahan dan berfungsi sesuai dengan harapan, atau justru menjadi beban bagi pemerintahan? Hanya waktu yang akan menjawab.