Surabaya – Konsultasi Publik tentang Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berbasis HAM diadakan oleh Komnas HAM RI bersama Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Acara ini berlangsung selama dua hari, yaitu pada Rabu dan Kamis, melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat dan pemerintah.
Diskusi yang hadirkan para narasumber ahli, termasuk anggota Komnas HAM dan akademisi, bertujuan untuk menggali pandangan masyarakat terkait revisi RUU KUHAP. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh revisi ini bisa mencakup pandangan masyarakat sipil dan implementasi HAM dalam hukum acara pidana.
Pentingnya Partisipasi Publik dalam Revisi RUU KUHAP
Partisipasi publik dalam penyusunan RUU KUHAP sangat penting untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan mencakup semua aspek yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Melalui acara ini, diharapkan bisa muncul masukan konstruktif yang menjawab permasalahan hukum yang ada.
Data menunjukkan bahwa partisipasi aktif dari masyarakat dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum. Dengan melibatkan masyarakat, RUU KUHAP dapat lebih inklusif dan memberikan perlindungan lebih terhadap kelompok rentan. Peter Jeremiah, pemantik diskusi, menyampaikan tujuh isu penting yang perlu dibahas, termasuk kewenangan penyelidikan dan penyidikan, serta pentingnya keadilan restoratif.
Strategi Efektif untuk Menyusun RUU KUHAP yang Inklusif
Diskusi ini menghasilkan beberapa catatan penting terkait RUU KUHAP. Di antaranya, dominasi polisi dalam proses penyidikan yang perlu diimbangi dengan pengawasan eksternal agar tidak ada penyalahgunaan wewenang. Ini merupakan langkah strategis untuk menciptakan keadilan yang lebih adil dan transparan.
Keberadaan mekanisme keadilan restoratif juga dipertanyakan, terutama bagi korban. Penting untuk tidak hanya fokus pada mediasi, tetapi juga memastikan bahwa korban mendapatkan pemulihan sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk memberikan ruang lebih bagi kelompok rentan dalam proses hukum.
Namun, masih ada tantangan, seperti akses bantuan hukum yang terbatas. Dalam RUU KUHAP terdapat ketentuan mengenai bantuan hukum, tetapi peran paralegal yang sering berhadapan langsung dengan kasus-kasus hukum belum diakui. Penyelesaian ini perlu dipikirkan secara mendalam agar bantuan hukum dapat lebih merata.
Dengan tujuh catatan yang dihasilkan dari diskusi ini, pihak Komnas HAM berharap RUU KUHAP yang baru bisa menjadi instrumen hukum yang canggih, yang tidak hanya membawa keadilan tetapi juga transparansi untuk semua lapisan masyarakat.