Mengapa kejahatan semakin meningkat dalam jumlah dan kualitas, di mana di zaman modern ini seolah semakin dianggap biasa? Banyak orang yang terbiasa hidup dalam lingkungan seperti itu, menimbulkan pertanyaan, apakah perlawanan terhadap kejahatan menjadi semakin melemah?
Isu ini menyentuh inti dari krisis kemanusiaan modern, di mana fenomena “kejahatan ternormalisasi” atau normalized crime menjadi nyata. Paradoks kehidupan ini menyiratkan bahwa meskipun masyarakat semakin teredukasi dan terhubung, justru kepekaan moral mereka semakin tumpul.
Peran Filsafat dalam Memahami Kejahatan
Kita bisa belajar dari pemikiran para filsuf seperti Hannah Arendt dan Zygmunt Bauman. Menurut Arendt, kejahatan kini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap jahat, melainkan oleh ‘orang biasa’ yang patuh pada sistem. Contoh paling nyata bisa kita lihat pada seorang pegawai bank yang memanipulasi data demi mencapai target.
Sementara itu, Bauman mengemukakan konsep ‘Dilema Zaman Cair’, yang menggambarkan bahwa dalam masyarakat modern, nilai-nilai moral semakin mudah menguap demi kepentingan praktis. Kapitalisme konsumtif sering kali melahirkan pemikiran bahwa “Apa yang menguntungkan adalah benar”, sehingga tindakan eksploitasi di masyarakat dianggap normal.
Efek Sosial dari Kejahatan yang Meningkat
Dari sudut pandang psikologi sosial, kita mengenal Bystander Effect, yang menunjukkan bahwa individu cenderung pasif ketika melihat kejahatan jika orang lain juga tidak bereaksi. Media sosial yang dibombardir dengan berita kejahatan sering kali membuat orang menjadi kebas terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya.
Perkembangan teknologi juga membawa distorsi sosial. Kasus kejahatan seperti korupsi digital dan eksploitasi data mengaburkan garis antara penjahat dan korban. Pelaku kejahatan kini sering kali bersembunyi di balik algoritma, menjadikan korban tak berwajah dalam masyarakat.
Ketika jumlah dan kualitas kejahatan semakin meningkat, daya perlawanan masyarakat menjadi melemah. Kelelahan moral, seperti yang disebutkan, membuat orang lebih fokus pada survival atau bertahan hidup. Fragmentasi solidaritas juga terjadi, di mana masyarakat terkotak-kotak oleh echo chamber di media sosial, dengan isu keadilan dipolitisasi menjadi perpecahan.
Akan tetapi, perlawanan akan kekerasan sosial harus tetap ada. Revolusi kesadaran harus dilakukan di tingkat individu, di mana pentingnya melatih pikiran kritis bukan hanya sekedar menjadi pintar. Di tingkat komunitas, perlu adanya ruang publik yang mendukung tindakan kolektif untuk mengubah keadaan.
Seni dapat menjadi medium perlawanan yang kuat, dengan musik, mural, dan teater yang mampu membangkitkan empati tanpa dipengaruhi oleh data statistik semata.
Transformasi sistem juga diperlukan. Hukum harus lebih progresif; fokus tidak hanya pada pelanggaran kecil, tetapi juga pada kejahatan yang terstruktur. Selain itu, perlu ada regulasi yang ketat pada algoritma media sosial untuk mencegah penyebarluasan kebencian dan dehumanisasi.
Pendidikan dengan pendekatan holistik juga sangat penting, terutama dalam kurikulum yang menekankan etika, literasi digital, dan kewarganegaraan. Mengambil contoh dari pendidikan di Jepang, di mana fokus pada karakter sangat ditekankan di tahun-tahun awal, dapat menjadi referensi yang baik.
Gerakan perlawanan ini harus didukung oleh masyarakat, menjadi opini yang kuat melawan tindakan kekerasan. Di dunia yang makin cair, orang harus berperan aktif, bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga saksi yang mengedepankan keadilan.
Namun, tantangan terbesar memang datang dari situasi ekonomi yang tidak stabil, yang mendorong sikap pragmatisme. Ini banyak terjadi, dan sering kali lebih cepat menyebar dibandingkan dorongan untuk melakukan kebijakan baik dalam diri individu.
Di tengah semua kondisi ini, kesejatian kepemimpinan perlu ditingkatkan, mengarah pada nilai-nilai yang telah dianut oleh para pendiri bangsa di tahun 1945. Jiwa patriotik dan dedikasi harus menjadi landasan untuk melawan pragmatisme dan hedonisme yang melanda masyarakat.
Degradasi moral bangsa yang terjadi saat ini akibat modernisasi menjadi ancaman bagi eksistensi dan martabat bangsa. Ancaman tersebut berpotensi mengarah pada separatisme dan kemunduran di tengah persaingan global.
Sebagai langkah strategis, ada kebutuhan mendesak untuk “reset” sistem kekuasaan yang lebih dedikatif dan patriotik. Membuka kotak pandora ‘mega korupsi’ dan mempertanggungjawabkan mereka yang terlibat mutlak diperlukan untuk menghadirkan demokrasi dan keadilan sosial.
Di sisi lain, kita harus percaya bahwa keadilan tetap ada, dan perubahan bisa datang pada waktu yang tepat. Ketika semua ini terjadi, harapan untuk masyarakat yang lebih baik tidak akan sirna.
Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.
Mengapa kejahatan semakin meningkat dalam jumlah dan kualitas, di mana di zaman modern ini seolah semakin dianggap biasa? Banyak orang yang terbiasa hidup dalam lingkungan seperti itu, menimbulkan pertanyaan, apakah perlawanan terhadap kejahatan menjadi semakin melemah?
Isu ini menyentuh inti dari krisis kemanusiaan modern, di mana fenomena “kejahatan ternormalisasi” atau normalized crime menjadi nyata. Paradoks kehidupan ini menyiratkan bahwa meskipun masyarakat semakin teredukasi dan terhubung, justru kepekaan moral mereka semakin tumpul.
Peran Filsafat dalam Memahami Kejahatan
Kita bisa belajar dari pemikiran para filsuf seperti Hannah Arendt dan Zygmunt Bauman. Menurut Arendt, kejahatan kini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap jahat, melainkan oleh ‘orang biasa’ yang patuh pada sistem. Contoh paling nyata bisa kita lihat pada seorang pegawai bank yang memanipulasi data demi mencapai target.
Sementara itu, Bauman mengemukakan konsep ‘Dilema Zaman Cair’, yang menggambarkan bahwa dalam masyarakat modern, nilai-nilai moral semakin mudah menguap demi kepentingan praktis. Kapitalisme konsumtif sering kali melahirkan pemikiran bahwa “Apa yang menguntungkan adalah benar”, sehingga tindakan eksploitasi di masyarakat dianggap normal.
Efek Sosial dari Kejahatan yang Meningkat
Dari sudut pandang psikologi sosial, kita mengenal Bystander Effect, yang menunjukkan bahwa individu cenderung pasif ketika melihat kejahatan jika orang lain juga tidak bereaksi. Media sosial yang dibombardir dengan berita kejahatan sering kali membuat orang menjadi kebas terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya.
Perkembangan teknologi juga membawa distorsi sosial. Kasus kejahatan seperti korupsi digital dan eksploitasi data mengaburkan garis antara penjahat dan korban. Pelaku kejahatan kini sering kali bersembunyi di balik algoritma, menjadikan korban tak berwajah dalam masyarakat.
Ketika jumlah dan kualitas kejahatan semakin meningkat, daya perlawanan masyarakat menjadi melemah. Kelelahan moral, seperti yang disebutkan, membuat orang lebih fokus pada survival atau bertahan hidup. Fragmentasi solidaritas juga terjadi, di mana masyarakat terkotak-kotak oleh echo chamber di media sosial, dengan isu keadilan dipolitisasi menjadi perpecahan.
Akan tetapi, perlawanan akan kekerasan sosial harus tetap ada. Revolusi kesadaran harus dilakukan di tingkat individu, di mana pentingnya melatih pikiran kritis bukan hanya sekedar menjadi pintar. Di tingkat komunitas, perlu adanya ruang publik yang mendukung tindakan kolektif untuk mengubah keadaan.
Seni dapat menjadi medium perlawanan yang kuat, dengan musik, mural, dan teater yang mampu membangkitkan empati tanpa dipengaruhi oleh data statistik semata.
Transformasi sistem juga diperlukan. Hukum harus lebih progresif; fokus tidak hanya pada pelanggaran kecil, tetapi juga pada kejahatan yang terstruktur. Selain itu, perlu ada regulasi yang ketat pada algoritma media sosial untuk mencegah penyebarluasan kebencian dan dehumanisasi.
Pendidikan dengan pendekatan holistik juga sangat penting, terutama dalam kurikulum yang menekankan etika, literasi digital, dan kewarganegaraan. Mengambil contoh dari pendidikan di Jepang, di mana fokus pada karakter sangat ditekankan di tahun-tahun awal, dapat menjadi referensi yang baik.
Gerakan perlawanan ini harus didukung oleh masyarakat, menjadi opini yang kuat melawan tindakan kekerasan. Di dunia yang makin cair, orang harus berperan aktif, bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga saksi yang mengedepankan keadilan.
Namun, tantangan terbesar memang datang dari situasi ekonomi yang tidak stabil, yang mendorong sikap pragmatisme. Ini banyak terjadi, dan sering kali lebih cepat menyebar dibandingkan dorongan untuk melakukan kebijakan baik dalam diri individu.
Di tengah semua kondisi ini, kesejatian kepemimpinan perlu ditingkatkan, mengarah pada nilai-nilai yang telah dianut oleh para pendiri bangsa di tahun 1945. Jiwa patriotik dan dedikasi harus menjadi landasan untuk melawan pragmatisme dan hedonisme yang melanda masyarakat.
Degradasi moral bangsa yang terjadi saat ini akibat modernisasi menjadi ancaman bagi eksistensi dan martabat bangsa. Ancaman tersebut berpotensi mengarah pada separatisme dan kemunduran di tengah persaingan global.
Sebagai langkah strategis, ada kebutuhan mendesak untuk “reset” sistem kekuasaan yang lebih dedikatif dan patriotik. Membuka kotak pandora ‘mega korupsi’ dan mempertanggungjawabkan mereka yang terlibat mutlak diperlukan untuk menghadirkan demokrasi dan keadilan sosial.
Di sisi lain, kita harus percaya bahwa keadilan tetap ada, dan perubahan bisa datang pada waktu yang tepat. Ketika semua ini terjadi, harapan untuk masyarakat yang lebih baik tidak akan sirna.
Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.