www.fokustempo.id – Korupsi telah menjadi isu yang semakin banyak dibicarakan di berbagai kalangan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pernyataan seorang teman dalam diskusi menyentuh pada kenyataan pahit ini: ternyata korupsi telah bertransformasi dari yang dulunya tersembunyi menjadi terbuka, mencakup semua aspek publik dan privasi. Hal ini meresahkan dan menuntut perhatian lebih dari kita semua sebagai warga negara.
Korupsi, yang selalu dianggap merugikan negara, ternyata kini muncul dengan cara yang lebih canggih. Kasus yang terdengar klasik, seperti suap, penggelapan, dan proyek fiktif, tidak lagi menjadi satu-satunya cara. Realitas menunjukkan bahwa metode baru korupsi yang lebih terencana dan sistemik kini tengah berlangsung, membawa dampak yang lebih luas.
Saat ini, ada banyak celah dan modus baru yang digunakan oleh para pelaku korupsi. Uang hasil korupsi tidak lagi hanya disimpan dalam rekening pribadi, tetapi juga dialokasikan untuk kepentingan di luar pengawasan, yang membuatnya sulit untuk dilacak. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia.
Fenomena ini menggambarkan sebuah transformasi luar biasa dalam cara korupsi dilakukan. Berbagai pihak berusaha mencari celah dalam regulasi untuk melindungi tindakan korupsi mereka. Jika dahulu korupsi terjadi dalam bayang-bayang, kini kita menghadapi situasi di mana tindakan tersebut dilakukan dengan jelas, namun tertutupi oleh narasi yang tampak sah.
Perubahan Pola Korupsi di Indonesia dari Era ke Era
Di masa Orde Baru, praktik korupsi berlaku secara terstruktur. Taktik seperti penggunaan ‘uang administrasi’ membuat korupsi terlindungi oleh kekuasaan yang terpusat. Masyarakat dihadapkan pada situasi di mana mereka mengetahui adanya korupsi, namun tidak bisa berbuat banyak karena represi politik yang ketat.
Masa Reformasi membawa perubahan yang signifikan, tetapi tidak melulu positif. Desentralisasi yang diharapkan akan meningkatkan transparansi malah memberikan ruang bagi oligarki lokal. Kasus mark-up dan jual beli jabatan menjadi hal yang semakin umum, menandakan bahwa korupsi telah menjadi lebih terbuka.
Dalam konteks ini, upaya penyegaran hukum seperti bahwa yang dilakukan oleh KPK justru bisa dipandang sebagai pelemahan. Peraturan hukum yang seharusnya menjadi tameng dalam memberantas korupsi justru digunakan untuk melindungi pelaku korupsi. Budaya impunitas pun semakin mengakar, di mana penindakan terhadap koruptor minim dan jarang yang mendapat hukuman berat.
Smart Corruption: Dunia Baru dalam Korupsi
Di tengah semua ini, istilah ‘smart corruption’ mulai muncul dan menjadi perhatian khusus. Korupsi jenis ini hadir ketika konflikt kepentingan berkolusi dengan kebijakan publik. Anggota penguasa merancang kebijakan seemingly pro-pembangunan, tetapi justru mengalir ke kantong pribadi melalui perusahaan-perusahaan yang mereka miliki.
Dari sinilah, praktik korupsi berbasis hukum mulai mendapatkan bentuknya. Kepentingan pribadi disamarkan dengan istilah seperti efisiensi dan deregulasi, sehingga masyarakat sulit untuk mendeteksi adanya manipulasi. Beberapa korporasi terpilih menikmati berbagai keuntungan, seperti hak istimewa dan kontrak tanpa tender.
Keberadaan model korupsi ‘smart’ membuat negara kehilangan miliaran dai potensi pajak. Pasar menjadi terdistorsi dan usaha kecil dan menengah takut tersingkir. Kebijakan publik yang seharusnya transparan kini melayani kepentingan segelintir orang yang berpengaruh baik di tingkat politik maupun bisnis.
Reaksi dan Sikap Masyarakat Terhadap Korupsi
Dalam situasi di mana korupsi menjadi hal yang umum, masyarakat mulai menunjukkan apatisme. Kebanyakan dari mereka merasa lelah dengan berita korupsi yang terus-menerus muncul tanpa adanya solusi yang berarti. Rasa percaya terhadap lembaga penegak hukum pun menurun tajam.
Keberadaan teori broken windows mampu menjelaskan fenomena ini. Ketika suatu lingkungan menunjukkan tanda kerusakan, pelanggaran dan tindakan kriminal lainnya cenderung meningkat. Masyarakat cenderung menganggap bahwa korupsi adalah hal yang lumrah, menggerogoti idealisme dan nilai-nilai moral mereka.
Budaya sosiologis juga memainkan peranan penting di sini. Sikap pasif atau “nrimo” dalam masyarakat semakin menjauhkan mereka dari usaha untuk memperbaiki keadaan. Tindakan kolektif untuk memberantas korupsi semakin terhambat karena adanya rasa takut akan konsekuensi yang mungkin datang.
Membangun Kesadaran akan Moral Hazard dalam Korupsi
Pepatah Jawa ‘ngono ya ngono ning aja ngono’ bisa digunakan sebagai pandangan kritis terhadap moral hazard yang kerap terjadi pada masyarakat. Ia mengingatkan kita untuk tidak melampaui batas, meskipun kondisi yang dihadapi bisa jadi mendorong kita untuk berkompromi. Hal ini adalah gambaran yang tepat akan ambivalensi moral yang ada di tengah maraknya praktik korupsi.
Melalui pepatah ini, kita bisa melihat tiga aspek penting. Pertama, adanya kesadaran bahwa korupsi telah menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Kedua, sebuah tahap transisi mulai muncul, di mana masyarakat mulai kritis namun belum bisa sepenuhnya lepas dari dominasi sistem yang ada. Ketiga, menjadi penting untuk menemukan titik keseimbangan antara normalisasi korupsi dan upaya resistensi.
Dengan memahami realitas ini, masyarakat diharapkan bisa membangun kesadaran kolektif. Rasionalisasi korupsi yang dianggap lazim perlu dihentikan dengan peletakan batas yang jelas. Kesadaran moral yang ditanamkan dapat menjadi salah satu pendorong untuk perbaikan sistem, menuju ke arah yang lebih baik.
Ketika kita terus membiarkan korupsi meluas dengan alasan pragmatis, ruang untuk keadilan semakin menyempit. Pertanggungjawaban kolektif tidak hanya terbatas pada tata kelola pemerintahan, tetapi juga pada kesadaran publik untuk berjuang melawan ketidakadilan. Menghapus stigma korupsi dari sistem adalah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Korupsi tidak akan teratasi selagi kita membiarkan batas-batas moral yang terus bergeser. Dimulai dari kesadaran individu, diharapkan akan muncul gelombang perubahan yang lebih besar. Ketika kebijakan publik dirancang untuk kebaikan rakyat, maka masa depan anak cucu kita tidak lagi terancam oleh praksis korupsi.
Tanpa adanya tindak lanjut mengenai batas moral, kita akan terus-terusan hidup dalam sistem yang hanya berputar di sekitar usahanya untuk meraih keuntungan pribadi, sementara keadilan tetap terabaikan. Untuk masa depan yang lebih cerah, partisipasi kita dalam mencegah korupsi adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi.