Sumenep – Dalam sebuah operasi yang mengguncang masyarakat, Polres Sumenep berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dua tersangka pelaku pemerasan yang menargetkan Kepala Desa Batang-batang Daya, Siti Naisa. Tersangka berinisial SB (48) dan JF (59) memiliki latar belakang yang cukup mengejutkan, di mana SB merupakan oknum Ketua dari sebuah lembaga swadaya masyarakat, sementara JF adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Inspektorat setempat.
Kasus ini terungkap saat operasi yang dilakukan di kediaman JF di Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep. Pada saat itu, Korban bertemu dengan kedua pelaku untuk menyerahkan uang yang telah diminta. Sebuah pertanyaan pun muncul, bagaimana seorang ASN dapat terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum seperti ini? Hal ini menjadi refleksi bagi kita tentang integritas dalam birokrasi dan dampaknya terhadap masyarakat.
Modus Operandi Pemerasan oleh ASN dan Oknum LSM
Dalam kasus ini, JF berperan sebagai fasilitator. Sebagai pegawai Inspektorat, ia mengumpulkan data yang digunakan untuk memeras Siti Naisa. Melalui data hasil audit, ia menuduh adanya ketidaksesuaian dalam proyek pengaspalan jalan desa yang dibiayai oleh Dana Desa (DD) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek. Sementara itu, SB berfungsi sebagai eksekutor, yang menyampaikan tuntutan uang kepada korban.
Pihak kepolisian menjelaskan bahwa tindakan pemerasan ini bukanlah kejadian yang pertama. Ada dugaan bahwa JF dan SB telah berulang kali melakukan praktik serupa, menggunakan modus yang hampir sama. Hal ini menunjukkan adanya jaringan yang terorganisir dalam tindakan melanggar hukum ini. Data dari kepolisian menunjukkan bahwa kasus-kasus serupa meningkat, menandakan adanya masalah struktural yang bisa menjalar lebih jauh. Di sinilah pentingnya kepatuhan dan regulasi yang lebih ketat dalam pemerintahan agar tindakan korupsi dapat diminimalisir.
Strategi Melawan Pemerasan: Tindakan dan Kesadaran Hukum
Merespon situasi yang menimpa korban, Siti Naisa merasa tertekan dan terancam. Ia mengambil langkah berani dengan melaporkan ancaman ini kepada pihak berwenang sebelum pertemuan berlangsung. Keputusan ini menunjukkan pentingnya keberanian individu dalam melawan ketidakbenaran, dan betapa vitalnya peran masyarakat dalam memerangi korupsi.
Dalam kasus ini, saat hari pertemuan tiba, Siti Naisa dan suaminya hadir dengan membawa uang senilai Rp 20 juta, sesuai kesepakatan setelah negosiasi. Namun, mereka tidak menyadari bahwa pihak kepolisian telah melakukan pengintaian. Begitu uang diserahkan, tim Satreskrim Polres Sumenep langsung menangkap kedua pelaku. Implementasi tindakan hukum yang cepat ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan, sekaligus menjadi contoh bagi masyarakat bahwa melawan tindakan pemerasan bisa dilakukan dengan cara yang legal dan aman.
Saat ini, kedua pelaku telah ditahan, dan menghadapi sangkaan berat. SB dijerat dengan Pasal 368 ayat 1 juncto Pasal 335 ayat 1 KUHP, sedangkan JF dihadapkan pada Pasal yang sama ditambah dengan Pasal 55 KUHP. Kasus ini diharapkan dapat memberi efek jera tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada pihak lain yang mungkin berusaha melakukan tindakan serupa di masa depan.
Sumenep – Dalam sebuah operasi yang mengguncang masyarakat, Polres Sumenep berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dua tersangka pelaku pemerasan yang menargetkan Kepala Desa Batang-batang Daya, Siti Naisa. Tersangka berinisial SB (48) dan JF (59) memiliki latar belakang yang cukup mengejutkan, di mana SB merupakan oknum Ketua dari sebuah lembaga swadaya masyarakat, sementara JF adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Inspektorat setempat.
Kasus ini terungkap saat operasi yang dilakukan di kediaman JF di Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep. Pada saat itu, Korban bertemu dengan kedua pelaku untuk menyerahkan uang yang telah diminta. Sebuah pertanyaan pun muncul, bagaimana seorang ASN dapat terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum seperti ini? Hal ini menjadi refleksi bagi kita tentang integritas dalam birokrasi dan dampaknya terhadap masyarakat.
Modus Operandi Pemerasan oleh ASN dan Oknum LSM
Dalam kasus ini, JF berperan sebagai fasilitator. Sebagai pegawai Inspektorat, ia mengumpulkan data yang digunakan untuk memeras Siti Naisa. Melalui data hasil audit, ia menuduh adanya ketidaksesuaian dalam proyek pengaspalan jalan desa yang dibiayai oleh Dana Desa (DD) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek. Sementara itu, SB berfungsi sebagai eksekutor, yang menyampaikan tuntutan uang kepada korban.
Pihak kepolisian menjelaskan bahwa tindakan pemerasan ini bukanlah kejadian yang pertama. Ada dugaan bahwa JF dan SB telah berulang kali melakukan praktik serupa, menggunakan modus yang hampir sama. Hal ini menunjukkan adanya jaringan yang terorganisir dalam tindakan melanggar hukum ini. Data dari kepolisian menunjukkan bahwa kasus-kasus serupa meningkat, menandakan adanya masalah struktural yang bisa menjalar lebih jauh. Di sinilah pentingnya kepatuhan dan regulasi yang lebih ketat dalam pemerintahan agar tindakan korupsi dapat diminimalisir.
Strategi Melawan Pemerasan: Tindakan dan Kesadaran Hukum
Merespon situasi yang menimpa korban, Siti Naisa merasa tertekan dan terancam. Ia mengambil langkah berani dengan melaporkan ancaman ini kepada pihak berwenang sebelum pertemuan berlangsung. Keputusan ini menunjukkan pentingnya keberanian individu dalam melawan ketidakbenaran, dan betapa vitalnya peran masyarakat dalam memerangi korupsi.
Dalam kasus ini, saat hari pertemuan tiba, Siti Naisa dan suaminya hadir dengan membawa uang senilai Rp 20 juta, sesuai kesepakatan setelah negosiasi. Namun, mereka tidak menyadari bahwa pihak kepolisian telah melakukan pengintaian. Begitu uang diserahkan, tim Satreskrim Polres Sumenep langsung menangkap kedua pelaku. Implementasi tindakan hukum yang cepat ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan, sekaligus menjadi contoh bagi masyarakat bahwa melawan tindakan pemerasan bisa dilakukan dengan cara yang legal dan aman.
Saat ini, kedua pelaku telah ditahan, dan menghadapi sangkaan berat. SB dijerat dengan Pasal 368 ayat 1 juncto Pasal 335 ayat 1 KUHP, sedangkan JF dihadapkan pada Pasal yang sama ditambah dengan Pasal 55 KUHP. Kasus ini diharapkan dapat memberi efek jera tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada pihak lain yang mungkin berusaha melakukan tindakan serupa di masa depan.