www.fokustempo.id – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menuai kritik yang keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Banyak pihak menilai rencana pengesahan RUU ini justru bisa mengancam hak asasi manusia dan kebebasan sipil, alih-alih dijadikan sebagai jalan menuju reformasi hukum yang lebih baik.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengungkapkan bahwa sejak awal penyusunannya, RUU ini sudah menyimpan berbagai masalah serius. Ketidakpuasan muncul terkait proses partisipasi publik yang dianggap hanya sebagai formalitas belaka, tanpa niatan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat.
“Kami merasa tidak didengar. Meskipun diundang untuk memberikan masukan, draf dan naskah akademik sudah muncul sepekan setelahnya tanpa mencerminkan aspirasi yang kami sampaikan,” jelas seorang perwakilan dari koalisi tersebut saat konferensi pers di Jakarta.
Masalah dalam Substansi RUU yang Dikhawatirkan Banyak Pihak
Rancangan undang-undang ini dinilai memperlemah perlindungan hukum warga negara. Banyak kritikus menggarisbawahi adanya potensi untuk terjadinya penangkapan yang sewenang-wenang dan penyadapan tanpa kontrol yang jelas.
“Hak-hak dasar seperti penangkapan dan penyadapan menjadi longgar dan bisa dilakukan tanpa pengawasan yang memadai. Ini merupakan ancaman nyata bagi keadilan,” malah seorang ahli hukum mengungkapkan keprihatinannya.
Dengan adannya celah penyalahgunaan kekuasaan, banyak yang khawatir bahwa RUU ini bergerak melawan prinsip-prinsip dasar keadilan. Misalnya, tindakan paksa seperti penggeledahan dan penahanan bisa dilakukan tanpa persetujuan pengadilan, dengan dalih situasi darurat.
Kekhawatiran Terhadap Mekanisme Pengawasan yang Lemah dalam RUU
Para aktivis hukum mengingatkan bahwa selama penyelidikan, tindakan-tindakan penyamaran dan pengintaian bisa dilaksanakan tanpa adanya kontrol. “Ini jelas berpotensi disalahgunakan dan melanggar privasi individu,” tegas seorang sekretaris jenderal organisasi advokasi.
Lebih jauh, lemahnya regulasi penyadapan dalam rancangan undang-undang ini kurang memberikan perlindungan bagi masyarakat. Meskipun sudah ada mandat dari Mahkamah Konstitusi untuk memiliki undang-undang khusus dalam hal ini, realisasi masih jauh dari harapan.
Diskusi mengenai mekanisme yang akan diadopsi dalam RUU ini terus bergulir, namun masih minim transparansi dan partisipasi publik. Akibatnya, kekhawatiran akan penyalahgunaan kewenangan semakin meningkat.
Persepsi Penuh Takut Terhadap Keadilan Restoratif dalam RUU
Konsep keadilan restoratif dalam RUU KUHAP juga menjadi fokus perdebatan. Beberapa pihak berpandangan bahwa ini dimaksudkan untuk melindungi korban, tetapi justru berisiko menciptakan celah bagi pelaku kejahatan.
“Peluang untuk negosiasi dalam keadilan restoratif bisa membuat pelaku menghindari proses hukum. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan merugikan korban,” ungkap seorang peneliti dari lembaga hukum.
Pengawasan peradilan terhadap tindakan aparat juga menjadi semakin penting di era yang penuh tantangan ini, agar hak-hak warga tidak terlanggar akibat keputusan yang subjektif dari pihak berwenang.
Dampak Potensial RUU terhadap Keberlangsungan Demokrasi di Indonesia
Banyak pihak khawatir bahwa RUU ini bukan hanya mengancam hak asasi manusia, tetapi juga dapat menggerogoti fondasi demokrasi itu sendiri. Beberapa catatan kasus penghukuman dan penyiksaan oleh aparat penegak hukum semakin menjadi sorotan menjelang rencana pengesahan ini.
“Tanpa adanya mekanisme kontrol yang kuat, kekerasan serta penyalahgunaan kekuasaan akan terus terjadi,” tutur seorang aktivis dari lembaga pemantau hak asasi manusia.
Beberapa kalangan bahkan berpendapat bahwa pola penyusunan RUU ini serupa dengan proses pembahasan undang-undang sebelumnya yang juga mendapat kontroversi, seperti Undang-Undang KPK dan Omnibus Law. Transparansi dalam proses hukum merupakan keharusan demi menjaga partisipasi rakyat.